LATAR BELAKANG
Sutta
ini dibabarkan oleh Sang Buddha yang sedang berdiam di Vihara Anāthapiṇḍika di
Hutan Jeta Di Sāvatthi, Beliau mengunjungi Aula Ekasālaka dimana berbagai
pandangan diperdebatkan. Beliau membabarkan sutta ini kepada Poṭṭhapāda si
petapa kelana yang bertanya kepada Beliau tentang lenyapnya kesadaran (sanna). Poṭṭhapāda
ingin mengetahui bagaimana kesadaran menjadi lenyap.
Sang Buddha mengatakan bahwa lewat akal dan penyebablah maka
bentuk-bentuk Kesadaran dalam diri makhluk muncul dan lenyap. Bentuk kesadaran
tertentu muncul melalui praktek (Adhicitta sikkhavā) dan bentuk Kesadaran
tertentu lenyap melalui praktek.
Sang Buddha kemudian membabarkan praktek-praktek menjalankan sila
dan mengembangkan konsentrasi, yang menghasilkan muncul dan lenyapnya
jhāna-jhāna yang berturutan. Meditator maju dari satu tahap ke tahap berikutnya
secara berurutan sampai dia mencapai Berhentinya semua bentuk Kesadaran
(nirodhasamāpatti).
Setelah Sang Buddha menjelaskan kepada
Poṭṭhapāda kemudian para pengembara, segera setelah
Sang Bhagavā pergi, mencela, mengejek, mencemooh Poṭṭhapāda dari segala
penjuru, dengan mengatakan: ‘Apa pun yang dikatakan Petapa Gotama, Poṭṭhapāda
setuju dengan-Nya: “Jadi, begitu, Bhagavā. Jadi, begitu, Yang Sempurna menempuh
Sang Jalan!” Kami tidak mengerti sepatah kata pun dari keseluruhan ceramah
Petapa Gotama: “Apakah dunia ini kekal atau tidak? – apakah terbatas atau tidak
terbatas? – apakah jiwa sama dengan badan atau berbeda? – apakah Tathāgata ada
setelah kematian atau tidak ada, atau keduanya, atau bukan keduanya?”’
Poṭṭhapāda menjawab: ‘Aku juga
tidak mengerti tentang apakah dunia ini kekal atau tidak … atau apakah
Tathāgata ada setelah kematian atau tidak, atau keduanya, atau bukan keduanya.
Tetapi Petapa Gotama mengajarkan cara yang benar dan nyata dalam praktik yang selaras
dengan Dhamma dan berdasarkan pada Dhamma. Dan mengapakah seorang sepertiku
tidak mengungkapkan persetujuan atas praktik yang benar dan nyata, yang
diajarkan dengan begitu baik oleh Petapa Gotama?
Dua atau tiga
hari kemudian, Citta, putra seorang pelatih gajah, pergi bersama Poṭṭhapāda
menemui Sang Bhagavā. Citta bersujud di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu
sisi. Poṭṭhapāda saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, duduk di satu sisi,
dan menceritakan apa yang terjadi.
Citta pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Bhagavā, ketika
diri yang kasar ada, salahkah untuk menganggap bahwa diri yang ciptaan pikiran
dan diri yang tanpa bentuk juga ada? Apakah hanya diri yang kasar saja yang
ada? Dan demikian pula halnya untuk diri yang ciptaan pikiran dan diri yang
tanpa bentuk?’
‘Citta, ketika diri yang kasar
ada, kita pada saat yang sama tidak membicarakan tentang diri yang ciptaan
pikiran, kita tidak membicarakan tentang diri yang tanpa bentuk. Kita hanya
membicarakan diri yang kasar. Ketika diri yang ciptaan pikiran ada, kita hanya
membicarakan diri yang ciptaan pikiran, dan ketika diri yang tanpa bentuk ada,
kita hanya membicarakan diri yang tanpa bentuk.’
‘Citta, jika mereka bertanya
kepadamu: “Apakah engkau ada di masa lampau atau tidak, akankah engkau ada di
masa depan atau tidak, apakah engkau ada di masa sekarang atau tidak?”
Bagaimanakah engkau menjawabnya?’
‘Bhagavā, jika aku ditanya
demikian, aku akan menjawab: “Aku ada di masa lampau, aku tidak ada; aku akan
ada di masa depan, aku tidak akan ada; aku ada sekarang, aku tidak ada.” Itu,
Bhagavā, adalah jawabanku.’
‘Tetapi, Citta, jika mereka bertanya: “Diri di
masa lampau yang engkau miliki, apakah itu adalah satu-satunya diri yang
sebenarnya, dan yang di masa depan dan di masa sekarang adalah bukan yang
sebenarnya? Atau apakah yang akan engkau milliki di masa depan adalah
satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau dan masa sekarang adalah
bukan? atau apakah yang akan engkau milliki di masa sekarang adalah
satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau dan masa depan adalah
bukan?” Bagaimanakah engkau menjawabnya?’
‘Bhagavā,
jika mereka menanyakan hal-hal ini kepadaku, aku akan menjawab: “Diri di masa
lampau adalah pada saat itu yang sebenarnya, sedangkan yang di masa depan dan
di masa sekarang adalah bukan yang sebenarnya, diri di masa depan adalah pada saat
itu yang sebenarnya, sedangkan yang di masa lampau dan di masa sekarang adalah
bukan, diri di masa sekarang adalah pada saat ini yang sebenarnya, sedangkan
yang di masa lampau dan di masa depan adalah bukan sebenarnya.” Demikianlah
jawabanku.’
‘Demikian
pula, Citta, ketika diri yang kasar ada, kita tidak, pada saat yang sama
membicarakan diri yang ciptaan pikiran … [atau] diri yang tanpa bentuk.’
‘Demikian pula, Citta, dari sapi kita
memperoleh susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari
mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim ghee. Dan ketika ada susu,
kita tidak membicarakan dadih, mentega, gheee, krim ghee, kita membicarakan
susu; ketika ada dadih, kita tidak membicarakan mentega …; ketika ada krim ghee
… kita membicarakan krim ghee.’
‘Demikian
pula, ketika ada diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang ciptaan
pikiran, kita tidak membicarakan diri yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang
ciptaan pikiran, kita tidak membicarakan diri yang kasar, kita tidak membicarakan
diri yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang tanpa bentuk, kita tidak
membicarakan diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang ciptaan
pikiran, kita membicarakan diri yang tanpa bentuk. Tetapi, Citta, semua ini
hanyalah sekadar nama, ungkapan, kata-kata, penandaan yang digunakan oleh Sang
Tathāgata tanpa kesalah- pahaman.’
‘Dan
mendengar kata-kata ini, Poṭṭhapāda si pengembara berkata kepada Sang Bhagavā:
‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang
menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat,
atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat
melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Terberkahi telah membabarkan
Dhamma dalam berbagai cara. Bhagavā, aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada
Dhamma, dan kepada Sangha. Sudilah Bhagavā menerimaku sebagai seorang
siswa-awam yang telah menerima perlindungan dalam diri-Nya sejak hari ini
hingga akhir hidupku!’
Tetapi
Citta, putera seorang pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh
indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa
yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan
pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa
yang ada di sana. Demikian pula Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam
berbagai cara. Bhagavā, aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan
kepada Sangha. Semoga aku, Bhagavā, menerima pelepasan dari tangan Sang
Bhagavā, semoga aku menerima penahbisan
Dan
Citta, putera seorang pelatih gajah, menerima pelepasan keduniawian dari tangan
Sang Bhagavā, dan penahbisan. Dan Yang Mulia Citta yang baru ditahbiskan,
sendirian, terasing, tanpa lelah, bersemangat, dan bertekad, dalam waktu
singkat mencapai apa yang dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga
mulia yang meninggalkan rumah dan menjalani kehidupan tanpa rumah, yaitu puncak
kehidupan suci yang tanpa tandingan, setelah mencapainya di sini dan saat ini
dengan pengetahuan- super yang ia miliki dan berdiam di sana, mengetahui:
‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus
dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.’
Dan Yang
Mulia Citta, putera si pelatih gajah, menjadi salah satu dari Para Arahat.
Kesimpulan
Sang Buddha
membabarkan Dhamma tentang praktek-praktek menjalankan sila kepada Poṭṭhapāda saat selesai dan Sang
Buddha pergi Poṭṭhapāda di cemooh oleh brahmana lain. Dan akhirnya Poṭṭhapāda
menemui Sang Buddha kembali dengan Citta sang pelatih gajah yang akhirnya Citta
menjadi salah satu dari Para Arahat.
Referensi
Panduan
TIPITAKA Kitab Suci Agama Buddha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar