Selasa, 29 Desember 2015

POṬṬHAPᾹDA SUTTA

LATAR BELAKANG
Sutta ini dibabarkan oleh Sang Buddha yang sedang berdiam di Vihara Anāthapiṇḍika di Hutan Jeta Di Sāvatthi, Beliau mengunjungi Aula Ekasālaka dimana berbagai pandangan diperdebatkan. Beliau membabarkan sutta ini kepada Poṭṭhapāda si petapa kelana yang bertanya kepada Beliau tentang lenyapnya kesadaran (sanna). Poṭṭhapāda ingin mengetahui bagaimana kesadaran menjadi lenyap.
Sang Buddha mengatakan bahwa lewat akal dan penyebablah maka bentuk-bentuk Kesadaran dalam diri makhluk muncul dan lenyap. Bentuk kesadaran tertentu muncul melalui praktek (Adhicitta sikkhavā) dan bentuk Kesadaran tertentu lenyap melalui praktek.
Sang Buddha kemudian membabarkan praktek-praktek menjalankan sila dan mengembangkan konsentrasi, yang menghasilkan muncul dan lenyapnya jhāna-jhāna yang berturutan. Meditator maju dari satu tahap ke tahap berikutnya secara berurutan sampai dia mencapai Berhentinya semua bentuk Kesadaran (nirodhasamāpatti).
Setelah Sang Buddha menjelaskan kepada Poṭṭhapāda kemudian para pengembara, segera setelah Sang Bhagavā pergi, mencela, mengejek, mencemooh Poṭṭhapāda dari segala penjuru, dengan mengatakan: ‘Apa pun yang dikatakan Petapa Gotama, Poṭṭhapāda setuju dengan-Nya: “Jadi, begitu, Bhagavā. Jadi, begitu, Yang Sempurna menempuh Sang Jalan!” Kami tidak mengerti sepatah kata pun dari keseluruhan ceramah Petapa Gotama: “Apakah dunia ini kekal atau tidak? – apakah terbatas atau tidak terbatas? – apakah jiwa sama dengan badan atau berbeda? – apakah Tathāgata ada setelah kematian atau tidak ada, atau keduanya, atau bukan keduanya?”’
Poṭṭhapāda menjawab: ‘Aku juga tidak mengerti tentang apakah dunia ini kekal atau tidak … atau apakah Tathāgata ada setelah kematian atau tidak, atau keduanya, atau bukan keduanya. Tetapi Petapa Gotama mengajarkan cara yang benar dan nyata dalam praktik yang selaras dengan Dhamma dan berdasarkan pada Dhamma. Dan mengapakah seorang sepertiku tidak mengungkapkan persetujuan atas praktik yang benar dan nyata, yang diajarkan dengan begitu baik oleh Petapa Gotama?
Dua atau tiga hari kemudian, Citta, putra seorang pelatih gajah, pergi bersama Poṭṭhapāda menemui Sang Bhagavā. Citta bersujud di hadapan Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Poṭṭhapāda saling bertukar sapa dengan Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan menceritakan apa yang terjadi.
Citta pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Bhagavā, ketika diri yang kasar ada, salahkah untuk menganggap bahwa diri yang ciptaan pikiran dan diri yang tanpa bentuk juga ada? Apakah hanya diri yang kasar saja yang ada? Dan demikian pula halnya untuk diri yang ciptaan pikiran dan diri yang tanpa bentuk?’
‘Citta, ketika diri yang kasar ada, kita pada saat yang sama tidak membicarakan tentang diri yang ciptaan pikiran, kita tidak membicarakan tentang diri yang tanpa bentuk. Kita hanya membicarakan diri yang kasar. Ketika diri yang ciptaan pikiran ada, kita hanya membicarakan diri yang ciptaan pikiran, dan ketika diri yang tanpa bentuk ada, kita hanya membicarakan diri yang tanpa bentuk.’
‘Citta, jika mereka bertanya kepadamu: “Apakah engkau ada di masa lampau atau tidak, akankah engkau ada di masa depan atau tidak, apakah engkau ada di masa sekarang atau tidak?” Bagaimanakah engkau menjawabnya?’
‘Bhagavā, jika aku ditanya demikian, aku akan menjawab: “Aku ada di masa lampau, aku tidak ada; aku akan ada di masa depan, aku tidak akan ada; aku ada sekarang, aku tidak ada.” Itu, Bhagavā, adalah jawabanku.’
 ‘Tetapi, Citta, jika mereka bertanya: “Diri di masa lampau yang engkau miliki, apakah itu adalah satu-satunya diri yang sebenarnya, dan yang di masa depan dan di masa sekarang adalah bukan yang sebenarnya? Atau apakah yang akan engkau milliki di masa depan adalah satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau dan masa sekarang adalah bukan? atau apakah yang akan engkau milliki di masa sekarang adalah satu-satunya yang sebenarnya, dan yang masa lampau dan masa depan adalah bukan?” Bagaimanakah engkau menjawabnya?’
‘Bhagavā, jika mereka menanyakan hal-hal ini kepadaku, aku akan menjawab: “Diri di masa lampau adalah pada saat itu yang sebenarnya, sedangkan yang di masa depan dan di masa sekarang adalah bukan yang sebenarnya, diri di masa depan adalah pada saat itu yang sebenarnya, sedangkan yang di masa lampau dan di masa sekarang adalah bukan, diri di masa sekarang adalah pada saat ini yang sebenarnya, sedangkan yang di masa lampau dan di masa depan adalah bukan sebenarnya.” Demikianlah jawabanku.’
‘Demikian pula, Citta, ketika diri yang kasar ada, kita tidak, pada saat yang sama membicarakan diri yang ciptaan pikiran … [atau] diri yang tanpa bentuk.’
 ‘Demikian pula, Citta, dari sapi kita memperoleh susu, dari susu menjadi dadih, dari dadih menjadi mentega, dari mentega menjadi ghee, dan dari ghee menjadi krim ghee. Dan ketika ada susu, kita tidak membicarakan dadih, mentega, gheee, krim ghee, kita membicarakan susu; ketika ada dadih, kita tidak membicarakan mentega …; ketika ada krim ghee … kita membicarakan krim ghee.’
‘Demikian pula, ketika ada diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang ciptaan pikiran, kita tidak membicarakan diri yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang ciptaan pikiran, kita tidak membicarakan diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang tanpa bentuk; ketika ada diri yang tanpa bentuk, kita tidak membicarakan diri yang kasar, kita tidak membicarakan diri yang ciptaan pikiran, kita membicarakan diri yang tanpa bentuk. Tetapi, Citta, semua ini hanyalah sekadar nama, ungkapan, kata-kata, penandaan yang digunakan oleh Sang Tathāgata tanpa kesalah- pahaman.’


‘Dan mendengar kata-kata ini, Poṭṭhapāda si pengembara berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Bhagavā, aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Sudilah Bhagavā menerimaku sebagai seorang siswa-awam yang telah menerima perlindungan dalam diri-Nya sejak hari ini hingga akhir hidupku!’
Tetapi Citta, putera seorang pelatih gajah, berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Bhagavā, aku berlindung kepada Sang Bhagavā, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Semoga aku, Bhagavā, menerima pelepasan dari tangan Sang Bhagavā, semoga aku menerima penahbisan
Dan Citta, putera seorang pelatih gajah, menerima pelepasan keduniawian dari tangan Sang Bhagavā, dan penahbisan. Dan Yang Mulia Citta yang baru ditahbiskan, sendirian, terasing, tanpa lelah, bersemangat, dan bertekad, dalam waktu singkat mencapai apa yang dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga mulia yang meninggalkan rumah dan menjalani kehidupan tanpa rumah, yaitu puncak kehidupan suci yang tanpa tandingan, setelah mencapainya di sini dan saat ini dengan pengetahuan- super yang ia miliki dan berdiam di sana, mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.’
Dan Yang Mulia Citta, putera si pelatih gajah, menjadi salah satu dari Para Arahat.
Kesimpulan
Sang Buddha membabarkan Dhamma tentang praktek-praktek menjalankan sila  kepada Poṭṭhapāda saat selesai dan Sang Buddha pergi Poṭṭhapāda di cemooh oleh brahmana lain. Dan akhirnya Poṭṭhapāda menemui Sang Buddha kembali dengan Citta sang pelatih gajah yang akhirnya Citta menjadi salah satu dari Para Arahat.
Referensi
Panduan TIPITAKA Kitab Suci Agama Buddha


Tidak ada komentar:

Posting Komentar