Oleh : Kasminto
A.
Latar
Belakang
Dewasa ini
banyak yang belum mengenal dari Bhavana sendiri karena banyaknya mereka yang
mengenal tradisi Jawa tentang bertapa ada Samadhi. Arti dari Bhavana sendiri
sangat luas dari Samadhi maupun Meditasi yaitu perenungan untuk pengembangan
batin. Sang Buddha pun mengajarkan Bhavana ini kedalam Brahmajala Sutta yang membuat
para bhikkhu memiliki 62 pandangan salah, Sutta ini mengajarkan pentingnya
mengembangkan Bhavana, Sila, dan pañña.
B.
Pembahasan
Dalam Brahmajala
Sutta ini dijelaskan tentang 62 pandangan salah yang dibabarkan Sang Buddha
untuk menjaga Sila, Bhavana, dan Pañña.
Hal-hal yang menyebabkan orang-orang memuji
Tathagatta:
Cula Sila
·
Tidak
membunuh makhluk hidup
·
Tidak
mengambil apa yang tidak diberikan
·
Tidak
melakukan hubungan kelamin
·
Tidak
berdusta
·
Tidak
memfitnah
·
Tidak
mengucapkan kata-kata kasar
·
Tidak
menghabiskan waktu untuk bercerita yang tidak berguna
·
Tidak
menggunakan alat-alat untuk merias, bunga-bungaan, wangi-wangian, dan perhiasan
Majjhima Sila
·
Tidak
merusak biji-bijian maupun tumbuh-tumbuhan
·
Tidak
menimbun makanan, minuman, jubah, dll.
·
Tidak
melihat pertunjukan
·
Tidak
menikuti permainan-permainan dan rekreasi
·
Tidak
menggunakan tempat tidur yang besar dan
mewah
·
Tidak
menggunakan perhiasan dan mempercantik diri
·
Tidak
membicarakan hal-hal yang rendah
·
Tidak
melakukan bantahan-bantahan
·
Tidak
berlaku sebagai pembawa berita, pesuruh, sebagai perantara
·
Tidak
menipu
Maha sila
Tidak
mencari penghasilan dengan mata pencaharian yang salah seperti:
·
Meramal
nasib
·
Membicarakan
tanda-tanda akan alamat baik atau buruk dengan benda-benda
·
Meramalkan
akibat dari keberangkatan, tibanya pemimpin
·
Tidak
meramalkan akan adanya keberadaan tatasurya seperti gerhana bintang, bulan,
matahari yang menyimpang pada orbit
·
Meramal
akan adanya hujan lebat, kurang lebat dan kekeringan
·
Menentukan
hari baik untuk perkawinan
·
Berjanji
akan berdana apabila keingginannya terkabul
Berbagai pandangan salah
mengenai masa lampau terdapat 18 cara:
·
Empat
pandangan kepercayaan atta dan loka adalah kekekalan (sassata ditthi)
·
Empat
jenis kepercayaan dualisme pada kekekalan dan ketidak-kekelan (ekacca sassata
ditthi)
·
Empat
pandangan mengenai apakah dunia itu terbatas atau tak terbatas (antnanta
ditthi)
·
Empat
jenis pengelakan yang tidak jelas (amaravikkhepa vada)
·
Dua
dokterin non sebab akibat (adhiccasamuppanna vada)
Berebagai pandangan salah
mengenai masa depan terdapat 44 cara
·
Enambelas
jenis kepercayaan pada adanya sanna
setelah kematian (uddhamaghatanika sanni vada)
·
Delapan
jenis kepercayaan pada tidak adanya sanna setelah kematian (uddahamaghatanika
asanni vada)
·
Delapan
jenis kepeercayaan pada adanya bukan sanna pun bukan non sanna setelah kematian
(uddhamaghatanika nevasanni nasanni vada)
·
Tuju
jenis kepercayaan pada anihilasi uccheda vada)
·
Lima
jenis nibbana duniawi sebagai yang bisa diwujudkan dalam kehidupan ini juga
(ditthadhamma nibbana vada)
1.
Empat pandangan atta dan
loka adalah tidak kekal
a) Sebagian petapa dan
brahmana yang mampu menginggat kehidupan lampaunya pada
1,2,3,4,5,10,20,30,40,50,100,1000,beberapa ribu atau puluhan ribu kehidupan
yang lampau berpendapat bahwa “ atta adalah kekal dan loka tidak membentuk atta
yang baru, itu tetap bagakan puncak gunung karang, atau bagaikan tiang yang
kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah, mati, dan terlahir kembali
dari satu kehidupan kekehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetep
kekal selamanya”.
b) Sebagian petapa dan
brahmana yang mampu menginggat kehidupan yang lampau pada 1,2,3,4,5,10 kali
masa bumi berevolusi berpendapat bahwa “ atta adalah kekal dan loka tidak
membentuk atta yang baru, itu tetap bagakan puncak gunung karang, atau bagaikan
tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah, mati, dan
terlahir kembali dari satu kehidupan kekehidupan yang lain, namun demikian
mereka itu tetep kekal selamanya”.
c) Sebagian petapa dan
brahmana yang mampu menginggat kehidupan lampau pada 10,20,30,40 kali masa bumi
berevolusi berpendapat bahwa “ atta adalah kekal dan loka tidak membentuk atta
yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang, atau bagaikan tiang yang
kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah, mati, dan terlahir kembali
dari satu kehidupan kekehidupan yang lain, namun demikian mereka itu tetep
kekal selamanya”.
d) Beberapa petapa dan
brahmana yang berlandaskan pada pandangannya pada pikiran dan logika saja pada
kesangupannya saja berpendapat bahwa “ atta adalah kekal dan loka tidak
membentuk atta yang baru, itu tetap bagaikan puncak gunung karang, atau
bagaikan tiang yang kokoh kuat, dan walaupun makhluk-makhluk berpindah, mati,
dan terlahir kembali dari satu kehidupan kekehidupan yang lain, namun demikian
mereka itu tetep kekal selamanya”.
2.
Empat jenis kepercayaan
dualisme pada kekekalan dan ketidak-kekalan (ekacca sassata ditthi)
a)
Pada
suatu waktu ketika berakhirnya suatu masa yang lama sekali bumi mulai
berevolusi, ketika hal itu terjadi alam brahmana terlihat sepi dan kosong. Ada
makhluk dari alam dewa abhassara yang masa hidupnya atau pahala kamma baiknya
habis. Ia meninggal dari alam dewa abhassara dan terlahir di alam brahma. Dia
hidup ditunjang dengan kekuatan pikiran yang diliputi keingginan, berkeingginan
agar ada makhluk lain yang datang dan hidup bersamanya, pada saat itu ada
makhluk yang masa hidup dan pahala baiknya habis dan terlahir di alam brahmana.
Makhluk dari alam brahmana yang pertama berpendapat ” saya brahmana, maha
brahmana, maha agung, maha tau, penuasa,
tuan dari semua, pencipta, penentu tempat bagi semua makhluk, semua makhluk
adalah ciptaanku”. Setelah ada beberapa makhluk yang meninggal, dari alam brahmana
dan terlahir di alam manusia, hidup menjadi petapa hingga mampu menginggat
kehidupannya yang lampau dia berkata “dialah
brahmana, maha brahmana, maha
agung, maha tau, penuasa, tuan dari semua, pencipta, penentu tempat bagi semua
makhluk, semua makhluk adalah ciptaannya”. Dia tetap kekal dan keadaannya tidak
berubah, ia akan tetap kekal selamanya, tetapi kami yang diciptakannya dan
datang kesini adalah tidak kekal, berubah dan memiliki usia yang terbatas.
b)
Dewa-dewa
yang tidak ternoda oleh kesenanggan adalah tetap kekal abadi selamanya. Tetepi
kita yang terjatuh dari alam tersebut, tidak dapat menggendalikan diri karena
terikat pada kesenangan , kita terlahir disini adalah tidak kekal. Berubah dan
usia kita pun terbatas.
c)
Para
dewa yang pikirannya mereka tidak ternoda dan tidak diliputi perasaan iri hati
pada yang lain, maka mereka tidak emburu pada dewa yang lain, dengan demikian
mereka tidak meninggal atau jatuh dari alam tersebut, mereka tetap kekal abadi,
tidak berubah sampai selama-lamanya. Tetapi yang memiliki pikiran yang ternoda
selalu diliputi perasaan iri dan cemburu kepada orang lain, maka tubuh ini
menjadi lemah, mati dan terlahir kembali sebagai makhluk yang tidak kekal, berubah, dan memiliki usia
yang terbatas.
d)
Yang
disebut mata, telinga, hidung, lidah, dan jasmani adalah atta yang bersifat
tidak kekal, tidak tetap, tidak abadi, selalu berubah. Tetapi apa yang
dinamakan batin, pikiran, atau kesadaran
adalah atta yang bersifat kekel, tetap, abadi dan tidak akan berubah
3.
Empat pandangan mengenai
apakah dunia ini terbatas atau tidak
terbatas (antnanta ditthi )
a)
Para petapa dan brahmana yang membayangkan dunia
ini terbatas, berkata: “Dunia ini terbatas, jalan yang dibuat menggelilingi dan kami berada dalam dunia
yang nampak terbatas”.
b)
Para
petapa dan brahmana yang mambayangkan dunia ini tidak terbatas, berkata “para
petapa yang yang menyatakan dunia ini terbatas sehingga jalan dapat
mengelilinginya adalah salah”.
c)
Ada
petapa dan brahmana yang membayangkan dunia ini ada yang terbatas dan ada yang
tidak terbatas maka mereka berpendapat
dunia ini ada yang terbatas dan ada yang tidak terbatas.
d)
Para
petapa dan brahmana menyatakan pendapat mereka yang didasarkan pada argumentasi
mereka dan hanya dilandaskan pada kesanggupannya saja membayangkan dan berpendapat dunia ini adalah
bukan terbatas ataupun bukan tidak terbatas.
4.
Empat jenis pengelakan
yang tidak jelas (amaaravikkhapika)
a)
Ada
petapa dan brahmana karena rasa takut dan tidak senang pada kesalahan yang
disebabkan menyatakan pendapat, maka ia akan menyatakan sebuah pertanyaan yang
ditanyakan padanya, maka ia akan menjawab berbelit-belit dan membinggungkan.
b)
Ada
petapa dan brahmana karena rasa takut dan tidak senang pada kesalahan yang
disebabkan menyatakan pendapat yang terikat pada keadaan batin , maka ia akan menyatakan sebuah pertanyaan
yang ditanyakan padanya, maka ia akan menjawab berbelit-belit dan
membinggungkan.
c)
Ada
petapa dan brahmana yang pandai, cerdi, berpengalaman dalam berdebat, pandai
mencari kesalahan, pandai menggelak, yang menurut pendapatnya dapat menolak
spekulasi orang lain dengan kebijaksanaan mereka, maka ia akan menyatakan
sebuah pertanyaan yang ditanyakan padanya, maka ia akan menjawab berbelit-belit
dan membinggungkan.
d)
Ada
petapa dan brahmana yang bodoh dan dungu. Dan karena kebodohan atau
kedunguannya , maka ia akan menyatakan sebuah pertanyaan yang ditanyakan
padanya, maka ia akan menjawab berbelit-belit dan membinggungkan.
5.
Dua dokterin non
sebab-akibat (adhiccasamuppanna vada)
a)
Ada
petapa dan brahmana menyatakan segala sesuatu terjadi secara kebetulan dan
berpendapat bahwa “ atta dan loka terjadai tanpa adanya sebab karena, dulu ada
sekarang ada”.
b)
Ada
beberapa petapa dan brahmana berpandangan yang didasarkan pada pikiran dan
logika menyatakan pendapat dan
argumentasinya dan didasari pada kesanggupannya berpendapat, “ atta dan
loka terjadi tanpa adanya sebab.
6.
Enambelas jenis
kepercayaan pada adanya pencerapan (sanna)
setelah kematian (uddhamaghatanika sanni vada)
a)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan mempunyai bentuk (rupa)
b)
Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah
dan sadar, dan tidak berbentuk (arupa)
c)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan berbentuk dan tidak
berbentuk (rupa-arupa)
d)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan bukan berbentuk atau pun
bukan tidak berbentuk (n”evarupinarupi)
e)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan terbatas (antava atta hoti)
f)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan tidak terbatas ( anantava)
g)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan terbatas dan tidak terbatas
(antava caanantavaca)
h)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan bukan terbatas atau pun
bukan tidak terbatas (n”evantava nanantava)
i)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan memiliki semacam bentuk
kesadaran (ekattasanni atta hoti)
j)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan memiliki macam-macam bentuk
kesadaran ( anatta sanni)
k)
Setelah mati, atta tetap ada, tidak berubah
dan sadar, dan memiliki kesadaran terbatas ( paritta sanni)
l)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan memiliki kesadaran tidak
terbatas (appamana sanni)
m)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan selalu bahagia (ekanta
sukkhi)
n)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan selalu menderita ( ekanta
dukkhi)
o)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan bahagia dan menderita (sukha
dukkhi)
p)
Setelah
mati, atta tetap ada, tidak berubah dan sadar, dan bukan bahagia ataupun bukan
menderita (adukkham asukkhi)
7.
Delapan jenis kepercayaan
pada tidak adanya sanna setelah kematian (uddahamaghatanika asanni vada)
a)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan berbentuk (rupi)
b)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan tidak berbentuk
(arupi)
c)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan berbentuk dan tidak
berbentuk (rupi ca arupi ca)
d)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan bukan berbentuk
ataupun bukan tidak berbentuk (n’eva rupiu narupi)
e)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan terbatas (antava)
f)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan tidak terbatas
(anantava)
g)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan terbatas dan tidak
terbatas ( antava ca anantava ca)
h)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan tidak memiliki kesadaran, dan bukan terbatas dan
bukan tidak terbatas (n’avantava nanantava)
8.
Delapan jenis kepercayaan
pada adanya bukan sanna atau pun bukan non sannasetelah kematian (
uddhamaghatanika nevasanni nasanni vada)
a)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan bukan
memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran, dan berbentuk (rupi)
b)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan bukan
memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran, dan dan tidak berbentuk (arupi)
c)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan bukan
memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran, dan berbentuk dan tidak berbentuk (rupi ca arupi
ca)
d)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan bukan
memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran, dan bukan berbentuk ataupun bukan tidak berbentuk
(n’eva rupiu narupi)
e)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan bukan
memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran, dan terbatas (antava)
f)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan bukan
memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran, dan tidad terbatas (anantava)
g)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan bukan
memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran, dan terbatas dan tidak terbatas (antava ca
anantava ca)
h)
Setelah
mati, atta tidak berubah dan bukan
memiliki kesadaran atau pun bukan tanpa memiliki kesadaran, dan bukan terbatas atau pun bukan tidak terbatas
(n’anvantava nanantava)
9.
Tuju jenis kepercayaan
pada anihilasi (ucceheda vada)
a) Ada beberapa petapa dan
brahmanna berpendapat dan berpandangan, “atta mempunyai bentuk (rupa) yang terdiri dari 4 zat (catummahabhutarupa) dan mrupakan
keturunan dari ayah dan ibu, bila meninggal dunia, tubuh menjadi hancur dan
lenyap dan tidak ada lagi kehidupan
kembali.”
b) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpendapat dan berpandangan, “atta tidak musnah sekaligus karena ada
atta lain lagi yang luhur berbentuk, termasuk alat kesenangan inderia
(kamavacaro), hidup dengan makanan material (kavalinkaraharabhakkho), yang kamu
tidak tahu atau tidak lihat tetapi saya telah mengetahui atau telah melihatnya.
Dengan demikian setelah meninggal dunia
makhluk itu binasa, lenyap dan musnah.”
c) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpandangan dan berpendapat,” atta itu tidak musnah sekaligus karena
ada atta lain lagi yang luhur, berbentuk, di bentuk oleh pikiran (manomaya),
semua bagian sempurna, indranya pun lengkap, setelah meninggal atta musnah dan
lenyap. Dengan demikian setelah meninggal makhluk itu binasa, lenyap musnah.”
d) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpandangan dan berpendapat,” atta tidak musnah sekaligus, karena ada
atta lain yang melampaui adanya bentuk (rupasanna) yang telah melenyapkan rasa tidak senang
(pathigasanna), tidak memperhatikan penyerapan-penyerapan lain (nannattasanna),
menyadari ruang tanpa batas (akasanancayatana), setelah meninggal atta musnah
dan lenyap. Dengan demikian setelah meninggal makhluk itu binasa, lenyap
musnah.”
e) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpandangan dan berpendapat, “atta tidak musnah sekaligus, karena ada
atta yang lain lagi yang melampaui alam (akasanancayatana), menyadari kesadaran
kesadaran tanpa batas, mencapai alam kesadaran tanpa batas (vinnanancayatana),
setelah meninggal atta musnah dan lenyap. Dengan demikian setelah meninggal
makhluk itu binasa, lenyap musnah.”
f) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpandangan dan berpendapat,” atta tdak musnah sekaligus, karena ada
atta lain yang melampaui alam (vinnanancayatana), menyadari kekosongan,
mencapai alam kekosongan ( akincannayatana), setelah meninggal atta musnah dan
lenyap. Dengan demikian setelah meninggal makhluk itu binasa, lenyap musnah.”
g) Ada beberapa petapa dan brahmana berpandangan dan
berpendapat, “atta tidak musnah sekaligus karena ada atta lain yang melampaui
alam akincannayatana, mencapai alam bukan pencerapan atau pun bukan tidak
pencerapan (n’evasanna nasannayatana), setelah meninggal atta musnah dan
lenyap. Dengan demikian setelah meninggal makhluk itu binasa, lenyap musnah.”
10.
Lima jenis nibbana
duniawi sebagai yang dapat diwujudkan dalam kehidupan sekarang (ditthadhamma
nibbana vada)
a) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpandangan, “bila atta diliputi oleh kenikmatan, kepuasan lima
inderia, maka atta telah mencapai nibbana dalam kehidupaan sekarang ini. Dengan
pendapat yang mereka nyatakan mengenai makhluk hidup yang dapat mencapai
kebahagiaan mutlak-nibbana dalam kehidupan sekarang ini”.
b) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpandangan, “ bila mana atta terbebas dari kesenangan inderia maupun
hal-hal buruk (akhusala dhamma) mencapai dan tetap dalam jhana pertama, keadaan
yang menggiurkan, disertai perhatian dan penyidikan (savittaka savicara),
maka dengan ini atta mencapai
kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Dendan demikian mereka
berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak-nibbana dapat dicapai dalam kehidupan
sekarang ini”.
c) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpendapat, “ bilamana atta terbebas dari perhatian dan penyelidikan,
mencapai dan berada dalam jhana II, keadaan
pikiran terpusat dan seimbang , penuh kegiuran dan bahagia (cetaso
ekadi-bhava, vupasamo, piti, sukha) maka
dengan ini atta mencapai kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan
sekarang ini. Dendan demikian mereka berpendapat bahwa kebahagiaan
mutlak-nibbana dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini”.
d) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpendapat, “ bila mana atta terbebas dari keingginan dan kegiuran,
pikiran terpusat, seimbang, penuh perhatian, berpenggertian jelas (sato ca
sampajano), dan tubuh mengalami kebahagiaan yang dikatakan oleh para ariya
sebagai keseimbangan yang disertai perhatian dan penggertaian jelas , mencapai
dan berada di jhana III, maka dengan ini
atta mencapai kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan sekarang ini. Dendan
demikian mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak-nibbana dapat dicapai
dalam kehidupan sekarang ini”.
e) Ada beberapa petapa dan
brahmana berpandangan , “ bilamana atta terbebas dari rasa bahagia dan derita
(sukkhassa ca pahana dukkhassa ca pahana) setelah lebih dahulu melenyapkan
kesenangan dan kesedihan (somanassa domanassa) mencapai dan berada dalam jhana
IV, disertai pikiran yang seimbang dan terpusat, tanpa adanya kebahagiaan dan
penderitaan (adukkha asukkham), maka
dengan ini atta mencapai kebahagiaan mutlak nibbana dalam kehidupan
sekarang ini. Dendan demikian mereka berpendapat bahwa kebahagiaan mutlak-nibbana
dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini”.
Pandangan salah tersebut bermula sebagai akibat dari perasaan yang muncul sebagai akibat dari
kontak yang berulang-ulang melalui 6 landasan indera, menimbulkan
·
Pandangan
dalam dirinya menimbulkan nafsu keinginan
·
Nafsu
keingginaan menimbulkan kemelekataan
·
Kemelekaatan
menimbulkan kehidupaan
·
Proses
sebab-akibat kamma dalam kehidupan menimbulkan tuminbal lahir
·
Dan
tumimbal lahir menimbulkan usia tua, kematian, ratap tangis, kesedihan,
pehentnderitaan, rasa tertekan dan
keputus asaan
Tetapi siapa pun yang mengetahui
sebagaimana adanya asal mula 6 landasan kontak indra, penghentiannya,
kenikmatannya, bahayanya dan cara agar terlepas darinya, berarti dia mewujudkan
dhamma bukan sekedar moralitas (sila), melainkan juga kosentrasi (samadhi) dan
pembebasan (vimutti), kebijaksanaan ( panna) yang menimbulkan pandangan salah.
Dari Sutta
diatas dapat dilihat bahwa 62 pandangan salah yang dapat menjerumuskan kedalam
alam yang tidak menyenangkan. Dan Sutta ini sangat relevan dengan kehidupan
sekarang yang masih diliputi pandangan tentang kehidupan ini. Sutta ini
mengajarkan pentingnya Bhavana agar terhindar dari pandangan-pandangan salah
tentang kehidupan. Dengan pengembangan Bhavana yang baik dan sesuai akan
membuat waspada dan terhindar dari pandangan salah yang dijelaskan dalam sutta
ini. Selain itu, dengan pengembangan Sila, Bhavana, dan Pañña akan membuat
terhindar dari alam yang menyedihkan. Dengan konsep dasar dari Bhavana yaitu
Samatha Bhavana dan Vipassana Bhavana diharapkan mampu menghindari pandangan salah
tentang hidup ini.
C.
Penutup
Tentunya masih
banyak kekurangan yang didalam pembahasan tentang Bhavana menurut Brahmajala
Sutta ini. Meskipun demikian semoga pembahasan yang ada dapat membawa manfaat.
Dan penulis mengharapkan kritik dan saran agar dapat memberi dorongan kepada
penulis untuk berkarya lebih baik lagi.
Kesimpulan
Dengan adanya
pandangan salah tentang kehidupan Sang Buddha memberi kotbah yang tertuang
dalam Brahmajala Sutta. Untuk memberi gambaran nyata bahwa masih banyak
pandangan salah yang akan menjerumuskan menuju alam menyedihkan. Pengembangan
Bhavana pada masa sekarang diharapkan dapat memberi konsep kewaspadaan agar
terhidar dari pandangan salah. Sutta ini sangat relevan dengan kehidupan
sekarang karena moralitas manusia zaman sekarang cenderung menurun dan
menimbulkan pandangan salah tentang kehidupan.
Referensi
Walshe,
Maurice. 1997. The Long Discourses of the Buddha A Translation of the Digha
Nikāya. Jakarta : DhammaCitta Press.
Lay, U
Ko. Panduan Tipitaka Kitab Suci Agama Buddha. 2000. Klaten : Vihāra Boddhivaṁsa.
Terima kasih. Menarik.
BalasHapus