MULAPARIYAYA SUTTA
Demikian yang saya dengar. Pada
suatu ketika yang terberkahi sedang berdiam di ukkattha dihutan Subhaga diakar
sebatang pohon sala yang besar. Disana beliau berkata kepada para bhikkhu
demikian : “ Ya, bhante jawab mereka. Yang terberkahi berkata:
“Para bhikkhu, akan kuajarkan
pada kalian kotbah mengenai akar semua hal. Dengarkan dan perhatikan dengan
cermat apa yang akan kukatakan. “ ya bhante, jawab para bhikkhu. Yang
terberkahi berkata demikian:
1. Manusia biasa
Disini para bhikkhu, seorang yang tidak
belajar, tidak memiliki rasa hormat bagi manusia agung dan tidak ermpil dan
disiplin didalam dhamma, mereka mempresepsikan tanah sebagai tanah, setelah mengespresikan demikian dia mengkonsepsikan
dirinya sebagai tanah, setelah itu ia mengkonsepsikan dirinya didalam tanah,
dirinya terpisah dari tanah, mengkonsepsikan tanah sebagai milikku dia bersuka
cita didalam tanah. Karena dia belum sepenuhnya memahami hal tersebut.
2. Siswa dalam pelatihan yang lebih
tinggi
Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang berada
dalam pelatihan yang lebih tinggi, yang pikirannya beelum mencapai tujuan,
yang masih berjuang untuk mencapai
jaminan terbebas dari belenggu, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, dia seharusnya tidak mengkonsepsikan dirinya
sebagai tanah, dirinya didalam tanah, dirinya terpisah dari tanah, dan tidak
seharusnya dia menganggap tanah sebagai milikku, tidak bersukacita di dalam
tanah. Karena supaya dia bisa sepenuhnya memahami hal tersebut.
3. Arahat 1
Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang
merupakan seorang arahat dengan noda-noda yang telah hancur, yang telah
menjalani kehidupan suci, telah sepenuhnya bebas melalui pengetahuan akhir,
secara langsung mengetahui tanah
sebagai tanah, dia tidak mengkonsepsikan
dirinya sebagai tanah, dirinya didalam tanah, dirinya terpisah dari tanah, dia
tidak mengkonsepsikan tanah sebagai milikku, tidak bersukacita di dalam tanah.
Dia tidak bersukacita di dalam tanah. Karena dia telah sepenuhnya memahami hal
tersebut.
4. Arahat II
Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang telah
merupakan seorang arahat sepenuhnya bebas melalui pengetahuan akhir, secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, dia tidak
menkonsepsikan dirinya sebagai tanah,
dirinya didalam tanah, dirinya terpisah dari tanah, dia tidak mengkonsepsikan
tanah sebagai milikku, tidak bersukacita di dalam tanah. Karena dia telah
terbebas dari nafsu keinginan melalui hancurnya nafsu keinginan.
5. Arahat III
Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang telah
merupakan seorang arahat sepenuhnya bebas melalui pengetahuan akhir, secara
langsung mengetahui tanah sebagai
tanah, dia tidak menkonsepsikan dirinya
sebagai tanah, dirinya didalam tanah, dirinya terpisah dari tanah, dia tidak
mengkonsepsikan tanah sebagai milikku, tidak bersukacita di dalam tanah. Karena
dia telah terbebas dari kebencian melalui hancurnya kebencian.
6. Arahat IV
Para bhikkhu, seorang bhikkhu yang telah
merupakan seorang arahat sepenuhnya bebas melalui pengetahuan akhir, secara
langsung mengetahui tanah sebagai tanah,
dia tidak menkonsepsikan dirinya sebagai
tanah, dirinya didalam tanah, dirinya terpisah dari tanah, dia tidak
mengkonsepsikan tanah sebagai milikku, tidak bersukacita di dalam tanah. Karena
dia telah sepenuhnay terbebas dari kebodohan batin melalui hancurnya kebodohan
batin.
7. Sang Tathagata I
Para bhikkhu, sang tathagata yang telah mantap dan sepenuhnya tercerahkan,
secara langsung mengetahui tanah sebagai tanah, setelah itu dia tidak
menkonsepsikan dirinya sebagai tanah,
dirinya didalam tanah, dirinya terpisah dari tanah, dia tidak mengkonsepsikan
tanah sebagai milikku, tidak bersukacita di dalam tanah. Karena sang tathagata
telah sepenuhnay memahami hal itu sampai diakhirnya.
8. Sang Tathagata II
Para bhikkhu, sang tathagata
yang telah mantap dan sepenuhnya tercerahkan, secara langsung mengetahui
tanah
sebagai tanah, setelah secara langsung mengetahui tanah sebagai
tanah, dia tidak menkonsepsikan dirinya
sebagai tanah, dirinya didalam tanah, dirinya terpisah dari tanah, dia tidak
mengkonsepsikan tanah sebagai milikku, tidak bersukacita di dalam tanah. Karena
sang tathagat telah memahami bahwa suka cita adalah akar penderitaan, dan bahwa
bersama dengan keberadaan (sebagai kondisi) maka terjadilah kelahiran, dan
bahwa bagi apapun yang menjadi ada, disana terdapat usia tua dan kematian.
Referensi:
v
Cintiawati
wena dkk. 2004. Majjhima Nikaya I. Klaten:
Vihara Bodhiwamsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar